poin

Sabtu, November 26, 2011

Kupinang Engkau Dengan Hamdalah


“Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah diciptakannya pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung padanya. Dan Allah menjadikan di antara kalian perasaan tenteram dan kasih sayang. Pada yang demikian ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS: Ar-Rum-21)Ketika tiba masa usia aqil baligh, maka perasaan ingin memperhatikan dan diperhatikan lawan jenis begitu bergejolak. Banyak perasaan aneh dan bayang-bayang suatu sosok berseliweran tak karuan. Kadang bayang-bayang itu menjauh tapi kadang terasa amat dekat. Kadang seorang pemuda bisa bersikap acuh pada bayang-bayang itu tapi kadang terjebak dan menjadi lumpuh. Perasaan sepi tiba-tiba menyergap ke seluruh ruang hati. Hati terasa sedih dan hidup terasa hampa. Seakan apa yang dilakukannya jadi sia-sia. Hidup tidak bergairah. Ada setitik harapan tapi berjuta titik kekhawatiran justru mendominasi.

Perasaan semakin tak menentu ketika harapan itu mulai mengarah kepada lawan jenis. Semua yang dilakukannya jadi serba salah. Sampai kapan hal ini berlangsung? Jawabnya ada pada pemuda itu sendiri. Kapan ia akan menghentikan semua ini. Sekarang, hari ini, esok, atau tahun-tahun besok. Semakin panjang upaya penyelesaian dilakukan yang jelas perasaan sakit dan tertekan semakin tak terperikan. Sebaliknya semakin cepat /pendek waktu penyelesaian diupayakan, kebahagiaan & kegairahan hidup segera dirasakan. Hidup menjadi lebih berarti & segala usahanya terasa lebih bermakna.

Penyelesaian apa yang dimaksud? Menikah! Ya menikah adalah alat solusi untuk menghentikan berbagai kehampaan yang terus mendera. Lantas kapan? Bilakah ia bisa dilaksanakan? Segera! Segera di sini jelas berbeda dengan tergesa-gesa. Untuk membedakan antara segera dengan tergesa-gesa, bisa dilihat dari dua cara :

Pertama, tanda-tanda hati. Orang yang mempunyai niat tulus, kata Imam Ja’far, adalah dia yang hatinya tenang, sebab hati yang tenang terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niat murni untuk Allah dalam segala perkara. Kalau menyegerakan menikah karena niat yang jernih, Insya Allah hati akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun harapan & kekhawatiran meliputi dada. Lain lagi dengan tergesa-gesa. Ketergesaan ditandai oleh perasaan tidak aman & hati yang diliputi kecemasan yang memburu.

Kedua, tanda-tanda perumpamaan. Ibarat orang bikin bubur kacang hijau, ada beberapa bahan yang diperlukan. Bahan paling pokok adalah gula & kacang hijau. Jika gula & kacang hijau dimasukkan air kemudian direbus, maka akan didapati kacang hijau tidak mengembang. Ini namanya tergesa-gesa. Kalau gula baru dimasukkan setelah kacang hijaunya mekar ini namanya menyegerakan. Tapi kalau lupa, tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar cukup lama orang akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda : “Tiga orang yang selalu diberi pertolongan Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar & seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR Thabrani)

Banyak jalan yang dapat menghantarkan orang kepada peminangan & pernikahan. Banyak sebab yang mendekatkan dua orang yang saling jauh menjadi suami istri yang penuh barakah & diridhai Allah. Ketika niat sudah mantap & tekad sudah bulat, persiapkan hati untuk melangkah ke peminangan. Dianjurkan, memulai lamaran dengan hamdalah & pujian lainnya kepada Allah SWT. Serta Shalawat kepada Rasul-Nya. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan bacaan hamdalah, maka hal itu sedikit barakahnya (terputus keberkahannya)” HR Abu Daud, Ibnu Majah & Imam Ahmad.

Setelah peminangan disampaikan, biarlah pihak wanita & wanita yang bersangkutan untuk mempertimbangkan. Sebagian memberikan jawaban segera, sebelum kaki bergeser dari tempat berpijaknya, sebab menikah mendekatkan kepada keselamatan akhirat, sedang calon yang datang sudah diketahui akhlaqnya, sebagian memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memberi kepastian apakah pinangan diterima atau ditolak, karena pernikahan bukan untuk sehari dua hari.

Apapun, serahkan kepada keluarga wanita untuk memutuskan. Mereka yang lebih tahu keputusan apa yang terbaik bagi anaknya. Anda harus husnudzan pada mereka. Bukankah ketika meminang wanita berarti anda mempercayai wanita yang diharapkan oleh anda beserta keluarganya.

Keputusan apapun yang mereka berikan, sepanjang didasarkan atas musyawarah yang lurus, akan baik dan Insya Allah memberi akibat yang baik bagi anda. Tidak kecewa orang yang istikharah & tidak merugi orang yang musyawarah. Maka apapun hasil musyawarah, sepanjang dilakukan dengan baik, akan membuahkan kebaikan. Sebuah keputusan tidak bisa disebut buruk atau negatif, jika memang didasarkan kepada musyawarah yang memenuhi syarat, hanya karena tidak memberi kesempatan kepada anda untuk menjadi anggota keluarga mereka. Jika niat anda memang untuk silaturrahim, bukankah masih tersedia banyak peluang untuk menyambung?

Anda telah meminangnya dengan hamdalah, anda telah dimampukan datang oleh Allah Yang Maha Besar. Dia-lah Yang Maha Lebih Besar. Semuanya kecil. Ada pelajaran yang sangat berharga dari Bilal bin Rabbah tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan : “Jika pinangan kami anda terima, kami ucapkan Alhamdulillah. Dan kalau anda menolak, maka kami ucapkan Allahu Akbar.” Maka, kalau pinangan yang anda sampaikan ditolak, agungkan Allah, semoga anda tetap berbaik sangka kepada Allah & juga kepada keluarganya. Sebab bisa jadi, penolakan merupakan jalan pensucian jiwa dari kedzaliman diri sendiri, bisa jadi penolakan merupakan proses untuk mencapai kematangan, kemantapan & kejernihan niat. Sementara ada banyak hal yang dapat mengotori niat. Bisa jadi Allah hendak mengangkat derajat anda, kecuali anda justru malah merendahkan diri sendiri. Tapi hati perlu diperiksa, jangan-jangan perasaan itu muncul karena ujub.

Kekecewaan, mungkin saja timbul. Barangkali ada perasaan yang perih, barangkali juga ada yang merasa kehilangan rasa percaya diri saat itu. Ini merupakan reaksi psikis yang wajar, kecewa adalah perasaan yang manusiawi, tetapi ia harus diperlakukan dengan cara yang tepat agar ia tidak menggelincirkan ke jurang kenistaan yang sangat gelap. Kecewa memang pahit. Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa, mereka berusaha membuang jauh-jauh sumber kekecewaan. Sekilas nampak tidak ada masalah, tetapi setiap saat berada dalam kondisi rawan. Perasaan itu mudah bangkit lagi dengan rasa sakit yang lebih perih. Dan yang demikian tidak dikehendaki Islam. Islam menghendaki kekecewaan itu menghilang perlahan-lahan secara wajar. Sehingga kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan dengan tidak kehilangan obyektivitas & kejernihan hati, kita menjadi lebih tegar, meskipun proses yang dibutuhkan untuk menghapus kekecewaan lebih lama.

Kalau anda merasa kecewa, periksalah niat anda. Dibalik yang dianggap baik, mungkin ada niat yang tidak lurus. Periksalah motif-motif yang melintas dalam batin. Selama peminangan hingga saat menunggu jawaban. Kemudian biarkan hati memproses secara wajar sampai menemukan kembali ketenangan secara mantap.

Tetapi kalau jawaban yang diberikan oleh keluarga wanita sesuai harapan, berbahagialah sejenak. Bersyukurlah. Insya Allah kesendirian yang dialami dengan menanggung rasa sepi sebentar lagi akan menghapus kepenatan selama di luar rumah. Insya Allah sebentar lagi.

Tunggulah beberapa saat. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk melakukan apa saja yang menjadi hak anda bersamanya. Akan tiba masanya anda merasakan kehangatan cintanya. Kehangatan cinta wanita yang telah mempercayakan kesetiaannya kepada anda. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk menemukan pangkuannya ketika anda risau.

Selama menunggu, ada kesempatan untuk menata hati. Melalui pernikahan Allah memberikan banyak keindahan & kemuliaan. Wanita boleh menawarkan Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat & ikhtiar untuk menikah. Nikah adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah r.a atas teladan bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.

Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlaq & kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah & untuk mendapatkan pahala-Nya, Allah pasti mencatatnya sebagai kemuliaan & mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah & tidak memiliki kehormatan, kecuali sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.

Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah SAW dan berkata : “Ya Rasulullah! Apakah baginda membutuhkan daku?” Putri Anas yang hadir & mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri & rasa malu, “Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan.” Anas berkata kepada putrinya : “Dia lebih baik darimu, Dia senang kepada Rasulullah SAW lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau!” (HR Bukhari).

Minggu, November 20, 2011

CInta Akan Kedewasaan


Mencintai orang yang lebih dewasa, ah rasanya tidak mungkin. Andai dia tahu bahwa yang dia lakukan adalah suatu kesalahan mungkin tidak akan pernah dia menjalani hubungannya dengan lelaki dewasa. Tak terbersit sedikit pun rasa ingin atau sekedar mengagumi lelaki dewasa yang sudah mapan, tapi kenyataannya, dia telah melakukan hal tersebut.


Mencintai bagi dia merupakn suatu yang menganggu ketika dia merasa ada rasa cinta dan sayang kepada laki-laki dewasa selain orang tuanya. Rasa cinta dan sayang itu bukan hanya rasa yang dia miliki layaknya rasa y\cinta yang dia berikan atau dia rasakan ketika bersama orang tuanya. Dia tak pernah menyadari bahwa yang dia lakukan adalah hal yang salah. Pernah dia berpikir bahwa rasa itu hanyalah rasa yang dia rasakan karena dia merasa dirinya masih kecil dan bersikap kekanak-kanakan. Dia merasa nyaman ketika dia berdekatan dengan orang yang layaknya dia sebut sebagai ayah.

Lambat laun rasa itu berubah menjadi rasa yang berbeda, jauh dari yang dia bayangkan. Dia merasa seluruh orang menghina sikapnya. Dia merasa semua orang mencibir dan mengatakan dia tidak tahu diri, tapi itu hanya dalam pikirannya saja karena tak pernah dia berperilaku yang membuat orang tahu kalau dia menyukai lelaki dewasa.


Mula-mula dia menganggap lelaki dewasa adalah seorang ayah. Bersamanyalah dia mendapatkan perlindungan, kasih sayang, dan kehangatan. Rasa itu terasa cepat sekali berubah menjadi rasa yang jauh mengejutkan. Rasa suka seorang wanita kepada seorang laki-laki, itulah yang dia rasakan saat ini. Tanggung jawab, pengertian, dan perhatian yang lelaki dewasa itu berikan layaknya atau tepatnya ia curahkan sebagai bentuk kasih sayang seorang ayah kepada anaknya ditanggapi berbeda dari dia.

Dia tak tahu harus berbuat apa. Di hatinya terbersit untuk menyingkirkan dan kadang dia menisbahkan dirinya sebagai wanita yang hina. Dia tahu lelaki dewasa itu sudah mempunyai anak, usianya pun jauh di atas usianya, tapi semua itu tidak bisa membuat dia melupakan lelaki dewasa yang tertanam dalam benak luasnya yang kini mulai menyempit karena keberadaan lelaki dewasa itu.

“Aku harus berbuat apa. Aku tidak pernah ingin merasakan cinta kepada lelaki itu !” Teriaknya dalam hati. “Kalau pun aku mencintai seorang lelaki, aku tahu batas. Aku tidak akan berani mencintai lelaki yang sudah beristri !” lanjutnya kembali.

Wanita itu menangis dan terus menangis di atas sajadah yang terhampar di kamarnya, tempat teraman dan ternyaman yang dia punyai. Teman akrabnya pun tidak pernah dia ceritakan bahwa dia sedang mencintai lelaki dewasa. Dia hanya memendam rasa yang selama ini dia rasakan sebagai sesuatu yang sangat menyiksa dirinya. Dia sendiri tanpa kawan. Hanya batinnya dan Allah saja yang tahu keadaan dia yang sesungguhnya.

“salah kah aku ya Allah. Aku mencintainya karena kesholehan yang dia miliki. Aku mencintainya karena akhlaq yang baik dan indah yang dia punyai. Patutkan aku disalahkan yang Allah jika aku tidak menginginkannya sedang rasa itu datang dengan sendirinya dan aku tidak pernah menginginkn rasa itu ya Allah.” Dia larut dalam tangis yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa dirinya tak pantas diberikan cobaan seperti ini. Hatinya menjerit untuk menyangkal bahwa dia tidak sepenuhnya mengingikan rasa itu berkecamuk di dadanya. Andai pun rasa itu muncul di hatinya, yang dia inginkan bukan lelaki dewasa yang pantas dia sebut sebagai ayah.


Dia tak tahu harus mengadu kepada siapa. Dia tidak percaya bahwa orang lain bisa memahami dirinya seutuhnya. Dia malah bersu’udzon dengan apa-apa yang akan dikatakan oleh orang lain terhadap apa yang akan dia sampaikan. Lelaki dewasa itu memang pantas untuk dicintai, tapi bukannya cinta seperti cintanya seorang wanita terhadap seorang laki-laki, tapi cinta antara seorang anak terhadap ayahnya.

Wanita itu selalu menyalahkan dirinya. Dia tahu bahwa suatu saat nanti dia akan dipertemukan dengan seorang yang lebih pantas untuknya, bukan lelaki dewasa yang dia kenal sekarang ini.

Kalaupun lelaki dewasa itu adalah jodoh yang Allah tetapkan untuk dirinya, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Pasti cemoohan dan wajah sinis akan dia rasakan ketika dia bertemu dengan tetangga-tetangganya. Dia tepis semua su’udzon terhadap tetangganya.

Sudah banyak orang mau mendekatinya. Ada juga yang ingin mengajaknya untuk mengarungi bahtera kehidupan keluarga, tapi dia tolak. Dia merasa di dalam diri lelaki yang mencoba mendekatinya itu tidak memiliki sifat-sifat seperti lelaki dewasa itu. Dia fokus pada sifat yang dia lihat pada lelaki dewasa itu dan menutup jauh setiap sifat yang dimiliki oleh lelaki muda yang datang kepadanya.

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Assalamualaikum wr. wb


Jodoh adalah problema serius, terutama bagi para Muslimah. Kemana pun mereka melangkah, pertanyaan-pertanyaan “kreatif” tiada henti membayangi. Kapan aku menikah? Aku rindu seorang pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil ibu? Aku jadi ragu, benarkah aku punya jodoh? Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita. Kebanyakan orang ketika berbicara soal jodoh selalu bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang kehidupan rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius tentang kriteria calon idaman. Nah, di sinilah segala sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu berawal. Pada mulanya, kriteria calon hanya menjadi ‘bagian masalah’, namun kemudian justru menjadi inti permasalahan itu sendiri.


Di sini orang berlomba mengajukan “standardisasi” calon: wajah rupawan, berpendidikan tinggi, wawasan luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar belakang keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas keshalihan.
Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan, “Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa, kan?” Memang, ada juga jawaban lain, “Saya tidak pernah menuntut. Yang penting bagi saya calon yang shalih saja.” Sayangnya, jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar senyum pun mahal.

Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih cepat didapatkan oleh mereka yang memiliki sifat superior (serbaunggul). Memperhitungkan kriteria calon memang sesuai sunnah, namun kriteria tidak pernah menjadi penentu sulit atau mudahnya orang menikah. Pengalaman riil di lapangan kerap kali menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita selama ini.
Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih bergantung pada kedewasaan kita. Banyak orang merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah, sekaligus menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya sebatas menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah tangga.


Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah, bahkan lebih indah dari film-film picisan ala bintang India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang bahwa kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku dan ujian, dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang kegetiran mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan individu, hanya dalam soal ujian dan beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?
Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi muda kita menjadi manusia-manusia yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam memahami sebuah gambar kehidupan yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus ideal, mereka menuntut orang lain yang menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan itu pada akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.
Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh, jika kita tidak pernah siap untuk itu? “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sekadar sesuai kesanggupannya.” (QS Al Baqarah, 286). Di balik fenomena “telat nikah” sebenarnya ada bukti-bukti kasih sayang Allah SWT.


Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan lapang dada.
Jangan pernah lagi bertanya, mana jodohku? Namun bertanyalah, sudah dewasakah aku?
Wallahu a’lam bisshawaab.

wassalamu’alaikum wr wb
(RKI)