poin

Senin, November 11, 2013

Tentang Kita

Aku,Terlalu pandai untuk memainkan peran orang lain.
Aku,
Yang tak becus memerankan lakon aku.
Aku yang kini tengah mencari pelaku yang mampu membuatku berhenti bermain peran
Aku masih mencari,
Entah kapan ‘kan ku temukan.....
....
11 September
Kadang semuanya begitu gamblang untuk dipahami, tapi terlalu sering semuanya menjadi begitu rumit untuk dimengerti.
....
Lari dari tanggung jawab. Itu yang terlintas dalam pikirku. Bukan tanpa alasan aku menyebutmu demikian. Kau yang datang padaku menawarkan candu itu, membantuku meneguknya hingga ku merasakan kenikmatan tak terperi. Setelah aku merasa nyaman, bahkan ketagihan dengan candumu, tiba – tiba saja kau merenggutnya bahkan menyodorkannya pada yang lain, di depan mataku, ketika aku tengah sakaw. Sebenarnya apa yang ada di balik tempurung kepalamu itu, aku tak sanggup mencerna dan meraba jalan pikirmu. Ingin sekali aku mengambil isinya, membantingnya, membiarkannya tercerai – berai. Sayangnya, aku bukan kau, aku masih punya sedikit nurani, dan itu yang membedakan aku dan kau, meski aku sudah tidak sanggup lagi melihat kau tersenyum puas menyaksikanku berdarah – darah.

14 September
Aneh!
Itu katamu.
Ada yang aneh, lain dari biasanya, entah apa itu. Kau pun ternyata tak pandai memaknainya. Sesaat setelah kau menggumam seperti itu, aku tersenyum geli, ternyata seorang kau pun bisa meraba hal ganjil. Sayangnya, itu semua hanya senyuman sesaat, sejurus kemudian yang ku rasa adalah kecewa. Kecewa yang teramat dalam. Kau yang bisa meraba ternyata tak pandai membaca. Membaca semua bahasaku. Yah...., aku tahu kadang mata kita dibutakan, hingga kita tak mampu melihat apa yang sebenarnya terjadi dan ada di depan kita. Bahkan, terlalu sering mata kita ini berbohong, begitu pandai menipu dan membolak – balikkan isyarat hati.

22 September
Kau telah benar – benar meracuni otakku. Setelah kau tarik ulur hatiku, masih saja aku tak bisa lepas darimu. Kau datangi lobus – lobusku tanpa permisi, kau duduki seolah kau yang berkuasa atas mereka. Semua yang ada di dalam diriku tertunduk memujamu. Dzikir dan rapalannya hanya berucap “ Kau “, tak ada yang lain, semua hanya dirimu. Apa yang mesti ku lakukan jika semua yang ada pada diriku menyuruhku untuk selalu mengabdimu ?

27 September
Semua menjadi begitu melelahkan.
Ragaku sudah menjadi sepenat jiwaku.
Aus bersama waktu.
Lantas, adakah yang bisa ku banggakan lagi ?

Awal Oktober
Apa yang bisa ku lakukan ketika cinta memanggilku ?
Patutkah aku marah atas diriku sendiri, saat kau memilih menapaki jalan yang kau pilih dengannya ?
Sebenarnya, aku tak pantas menanyakan alasan kenapa kau lebih memilih dia daripada aku, meskipun aku ingin menyenandungkannya. Aku masih berada dalam titik kesadaran, aku tahu bahwa cintamu berbicara lain dan itu tak seindah senandung cintaku yang kuharapkan padamu.

18 Oktober
Semakin hari semakin gila ku dibuatmu !
Bukan sebuah kejelasan dan penjelasan yang ku peroleh, justru yang kau sodorkan adalah ketidakpastian. Kau begitu mudah menerangi jiwaku dan jiwa – jiwa yang lain, semudah kau meredupkannya.

22 Oktober
Saat suara itu menjauh, aku ingin, begitu ingin mendekapnya, mencumbunya. Tapi semuanya berbalik 180 ketika kamu berada di dekatku, aku tak saja diam, bernafas pun enggan, jengah, bosan, dan bahkan mungkin hanya rasa benci yang ada. Apakah ini arti dari sebuah keinginan yang nisbi, yang egois, yang inginnya menang sendiri ?
Kala sadar, aku juga sering berjibaku dengan perasaanku sendiri. Satu sisi aku seperti mengiba, mengemis, merengek untuk menggapaimu, akan tetapi ruang sempit di hatiku juga mengatakan “ Jangan, bukan dia !”
Aku sudah lelah mengikuti alur perasaan ini, yang terkadang ingin membunuhku, yang membuatku merasa cengeng dan rapuh.
Dulu, aku memang terlalu memujamu, mengagumi setiap inchi tubuhmu, setiap jengkal pemikiranmu, dan lakumu. Tapi, kini..., entahlah.

26 Oktober
Mungkin sekarang aku tengah memberimu kesempatan bersorak, tertawa lepas, dan tersenyum puas atas kesuksesanmu menjatuhkan hatiku yang angkuh.
Atau barangkali, kau justru merasa heran dengan sikapku kepadamu yang dingin, tak seperti dulu.
Semuanya pelahan berubah.
Kidungku tak lagi semerdu dulu, bahkan senandung – senandung kecil tak lagi ku nyanyikan untukmu.
Yah.....
Aku tak menjadi bagian dari harmonimu lagi. Jangkauan nada kita berbeda.
Jauh berbeda....